Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-buruk. Etika disebut juga Filsafat Moral. Etika membicarakan tentang pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk, susila tidak susila dalam hubungan antar manusia. Etika dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral dari kata mores yang berarti cara hidup atau adat. Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik buruk. Sedangkan etika adalah adalah pengkajian secara mendalam tentang sistem nilai yang ada, Jadi etika sebagai suatu ilmu adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku. Moral itu adalah ajaran system nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya, tetapi etika adalah kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional. Dalam perspektif ilmu, istilah ajaran moral Jawa berbeda dengan Etika Jawa dalam hal cakupan pembahasannya. Banyak pendapat tentang etika, dalam tulisan ini sengaja hanya dikutip sedikit pendapat yang memadai. “Ethic (from Greek Ethos „character‟ is the systematic study of the nature of value concept, „good‟, „bad‟, „ought‟, „right‟ , wrong, etc. and of the general principles which justify us in applaying them to anything; also called „moral philosophy‟. “ (Encyclopedia Britanica: 752) “The term „Ethics is used in three different but related ways, signifying 1) a general pattern or way of life, 2) a set rules of conduct or moral code, 3) inquiry about way of life of rules of conduct”. (Edwards, Encyclopedia of Philosophy: 81)
Secara umum etika diklasifikasikan menjadi dua jenis; pertama etika deskriptif yang menekan pada pengkajian ajaran moral yang berlaku, membicarakan masalah baik-buruk tindakan manusia dalam hidup bersama. Yang ke dua etika normatif, suatu kajian terhadap ajaran norma baik buruk sebagai suatu fakta, tidak perlu perlu mengajukan alasan rasional terhadap ajaran itu, cukup merefleksikan mengapa hal itu sebagai suatu keharusan. Etika normatif
82
terbagi menjadi dua: etika umum yang membicarakan tentang kebaikan secara umum, dan etika khusus yang membicarakan pertimbangan baik buruk dalam bidang tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian etika sering disamakan dengan moral, bahkan lebih jauh direduksi sekedar etiket. Moral berkaitan dengan penilaian baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang berhubungan dengan nilai kemanusiaan, sedang etika /etiket berkaitan dengan sikap dalam pergaulan, sopan santun, tolok ukur penilaiannya adalah pantas-tidak pantas.
Di samping itu ada istilah lain yang berkaitan dengan moral, yaitu norma. Norma berarti ukuran, garis pengarah, aturan, kaidah pertimbangan dan penilaian. Norma adalah nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat yang telah tertanam dalam emosi yang mendalam sebagai suatu kesepakatan bersama (Charis Zubair: 20) Norma ada beberapa macam: norma sopan santun, norma hukum, norma kesusilaan (moral), norma agama. Masing-masing norma ini mempunyai sangsi. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini adalah bahwa masyarakat hanya takut pada norma hukum yang mempuyai sangsi yang jelas dan tegas yang pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral yang pelaksanaannya berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi pembeda antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek moralnya. Pada morallah manusia menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral seharusnya menjadi landasan tingkah laku manusia debgan segala kesadarannya. Ketika norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai maka masyarakat akan kacau. Moralitas mempunyai nilai yang universal, dimana seharusnya menjadi spirit landasan tindakan manusia. Norma moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. Norma moral lebih besar pengaruhnya dari pada norma sopan santun (pendapat masyarakat pada umumnya), bahkan dengan norma hukum yang merupakan produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah orang mengambil sikap dan menilai norma lain. Norma lain seharusnya mengalah terhadap norma moral. (Magnis Suseno: 21) Thomas Aquinas berpendapat bahwa suatu hukum yang bertentangan dengan hukum moral akan kehilangan kekuatannya. Mengapa manusia harus beretika/bermoral?
Dalam tulisan ini selanjutnya istilah etika dan moral mempuyai arti yang sama untuk merujuk pada penilaian perbuatan baik-buruk dengan alasan rasional. Kenapa manusia dalam kehidupannya harus
83
beretika. Kenapa segala tindakan manusia tidak lepas dari penilaian, sementara makhluk lain tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kita telusuri bebarapa anggapan dasar tentang hakekat manusia. Menurut ahli biologi Inggris Charles Robert Darwin yang juga senada dengan Aristoteles bahwa ada perkembangan dari taraf-taraf kehidupan yaitu, benda mati-tumbuh-tumbuhan-binatang-manusia. (Sunoto, 63-65 ) Benda mati = tidak hidup (berkembang) hanya mengalami perubahan karena proses tertentu. Tumbuh-tumbuhan = benda mati+hidup (berkembang) Binatang = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu Manusia = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu+akal
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Akal merupakan unsur pembeda, bukan unsur yang membuat manusia lebih unggul dengan makhluk lain. Akal memnpunyai dua aspek dalam penggunaannya jika digunakan secara benar akan meningkatkan taraf kemanusiaaannya, tetapi jika digunakan secara tidak benar akan menurunkan derajat manusia menjadi binatang bahkan lebih rendah dari binatang. Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan biologi. Akan lebih baik jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan pertimbangan humanis-filosofis. Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini akan menggambarkan sebagai manusia baik yang terdiri dari unsur: benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral. Kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan manusia menjadi lebih bermakna. Mengapa manusia harus bermoral/beretika? Jawabannya adalah karena manusia makhluk yang berakal, segala perbuatan, tindakan, dan perkataan manusia harus dipertanggungjawabkan. Perbuatan makhluk berakal senantiasa dinilai. Perbuatan yang bernilai itulah yang menjadikan kehidupan manusia menjadi bermakna. Hidup manusia tidak hanya sekedar melangsungkan spesies, tetapi bagaimana ia dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat bangsa/Negara dan kemanusiaan secara umum. Tuntuntan tanggung jawab ini meyangkut kegiatan manusia dalam segala bidang.
Kenapa hanya manusia yang harus bermoral? Norma moral itu berlaku mutlak, tetapi tidak memaksa. Norma moral berlaku bagi semua manusia, tidak berlaku bagi
84
hewan, karena hanya manusia yang berakal. Semua tindakan manusia dalam segala bidang itu senantiasa menghadapi penilaian. Tindakan manusia selalu dinilai, dan setiap saat iapun selalu menilai. Apakah semua manusia sebagai makhluk yang berakal dikenai norma moral/etika? Jawabnya adalah tidak. Moral dan etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia yang mempunyai kesadaran (kesadaran dalam hal ini tidak dalam arti medis, tetapi psikologis-filosofis).
Penilaian hanya ditujukan bagi manusia yang mempunyai akal dan sudah mempunyai kesadaran. Penilaian moral tidak dikenakan pada orang yang hilang ingatan, gila, sehingga tidak mempunyai kesadaran atau anak kecil yang kesadarannya belum tumbuh. Manusia dengan kriteria ini tidak dikenai tanggung jawab terhadap atas segala tindakannya, kalau dikenai tindakan maka harus disesuaiakan dengan taraf kesadarannya. Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus menggunakan moral/etika sebagai landasan segala tindakannya adalah karena dia berakal dan mempunyai kesadaran. Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang lapar, di depannya ada makanan yang biasa dimakannya, tanpa banyak pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda dengan manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak akan langsung menyantapnya. Berbagai macam pertimbangan akan menjadi dasar apakah ia akan menyantap makanan di depannya, apakah ia berhak menyantapnya, apakah makannya harus sekarang, bagaimana cara menyantapnya dan lain-lain. Manusia bermoral tidak akan memakan apa yang bukan haknya, manusia bermoral akan mampu mengendalikan nafsu untuk makan, manusia juga akan menggunakan kaidah kepantasan dalam hal cara melakukan sesuatu. Mungkin hal ini dianggap sepele, justru inilah harus disadari bahwa untuk hal yang kecil dan aktivitas sehari-hari saja banyak sekali pertimbangan, apalagi untuk masalah yang lebih besar dan mendasar. Sebagai contoh koruptor secara hakiki bisa dikatakan bukan manusia, tetapi seperti binatang, karena ada beberapa spesies binatang yang mempunyai otak memadai sehingga mempunyai kecerdasan, bahkan lebih rendah dari binatang. Binatang tidak bisa membedakan yang mana yang menjadi haknya dan yang mana bukan, namum koruptor bisa membedakan hanya saja ia tidak mau tahu.
Moral mutlak berlaku bagi manusiadalam hidup bersama. Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Kebudayaan ini hanya bisa tumbuh dalam hidup bersama. Manusia adalah Animal Sociale/Zoon Politicon. Manusia adalah
85
makhluk yang hidup bersama-sama dengan manusia lain, Ia membutuhkan manusia lain. Makhluk berbudaya merupakan resultante dari hakekat manusia sebagai Animal Sociale, Animal Rasionale dan makhluk yang bermoral. C. ILMU PENGETAHUAN DAN ETIKA Sekilas tentang Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science, bahasa lati scientia berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4) 1.Berobjek: objek material sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang pendekatan suatu ilme terhadap objeknya 2.Bermetode, yaitu prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran 3.Sistematis, ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. 4. Universal, ilmu diasumsikan berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu tertentu. Ilmu diproyekasikan berlaku seluas-luasnya. Adapun ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat: 1.terbuka: ilmu terbuka bagi kritik, sanggahan atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah sehingga menjadi dinamis. 2.milik umum, ilmu bukan milik individual tertentu termasuk para penemu teori atau hukum. Semua orang bisa menguji kebenarannya, memakai, dan menyebarkannya. 3.objektif: kebenaran ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma atau aksioma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam penyusunannya harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran perhatiannya sebagaimana apa adnya. 4.relatif: walaupun ilmu bersifat objektif, tetapi kebenaran yang dihasilkan bersifat relative/tidakl mutlak termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut yang tidak terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran, yang ada hanya tingkat probabilitas yang tinggi. Nilai-Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu
86
bena nilai atan tidak. Ada dua sikap dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan adalahuntuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaa. Jika ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony Keraf: 150) Ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan tanpa didukung argument yang objektif dan rasional.
Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia. Ke dua kubu yang bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak dapat dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan murni yang objetif dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156)
Context of discovery adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks social tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga
87
sejak awal ilmu pengetahuan mempunyai motif dan nilai tertentu. Ilmu pengetahuan dalam kontek keIndonesiaan
Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu ini harus dipahami sejak awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan ilmiah di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya sendiri memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Namun demikian tolok ukur manfaat itu tidak hanya sekedar manfaat pragmatis yang sesaat atau untuk kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draf materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru 2012)
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargi kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena aktifitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu (T. Jacob: 42-43) Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan
88
yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada sekelompok kecil masyarakat, apalagi hanhya mengabdi pada kepentingan penguasa Lingkungan akademis adalah tempat dimana ilmu pengetahuan itu disemaikan. Dunia akademis di Indonesia mempunyai tugas yang lebih berat dari sekedar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan aspek rasionalitas. Dunia akademis Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Dosen bukan hanya sebagai guru (teacher) sebagai tukang transfer pengetahuan. Dosen adalah pendidik yang bertugas untuk membimbing anak didik menjadi insan yang pintar dan bermoral. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draft Materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru UNDIP 2012).
Di lain pihak ia adala seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan ilmiah. Seperti di paparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada nilai-nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Perlu di sadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada dosen, tetapi harus juga ada pada mahasiswa yang merupakan out put dari aktivitas ilmiah di lingkungan akademis. (Ibid.)
1. Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan adalah kejujuran dan kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini merupakan nilai interinsik yang ada di dalam ilmu pengetahuan, sehingga harus integral masuk dalam etos semua aktor ilmu pengetahuan di dalam lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihsilkan dari proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran tidak akan di dapat kebenaran sebagaimana apa adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap jujur & obyektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan objektif dalam mengumpulkan faktor dan menyajikan hasil analisis fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur dan objektif menghasilkan produk pemikiran berupa penjelasan yang lugas dan tidak bias karena kepentingan tertentu.
2. Tanggung jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan penelitaian maupun dalam aplikasi ilmu serta, di dalam aktivitas ilmiah akademis.
3. Setia. Seorang ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada ilmu
89
yang ditekuni. Ia harus setiap menyebarkan kebenaran yang diyakini walaupun ada resiko.
4. Sikap ingin tahu.Seorang intelektual/cendekiawan memiliki rasa ingin tahu (coriousity) yang kuat untuk menggali atau mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang ada di sekelilingnya secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan masyarakat awam. karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya.
5. Sikap kritis. Bagi seorang cendekiawan, sikap kritis dan budaya bertanya dikembangkan untuk memastikan bahwa kebenaran sejati bisa ditemukan. Oleh karena itu, semua informasi pada dasarnya diterima sebagai input yang bersifat relative/nisbi, kecuali setelah melewati suatu standard verifikasi tertentu.
6. Sikap independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakekatnya adalah sesuatu yang obyektif, tidak ditentukan oleh imajinasi dan kepentingan orang tertentu. Cendekiawan berpikir dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya tidak bisa dipengaruhi siapapun untuk berpendapat berbeda hanya karena ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar, salah dikatakan salah, walaupun itu adalah hal yang pahit.
7. Sikap terbuka. Walaupun seorang cendekiawan bersikap mandiri, akan tetapi hati dan
pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap pendapat yang berbeda, maupun pikiran-pikiran baru yang dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya. Seorang cendekiawan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu, pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Dia tidak akan selalu belajar sampai “ke negeri China”bahkan sampai akhir hayat.
8. Sikap rela menghargai karya& pendapat orang lain Seeorang cendekiawan bersedia berdialog secara kontinyu dengan koleganya dan masyarakat sekitar dalam keterlibatan yang intensif dan sensitif.
9. Sikap menjangkau kedepan.Cendekiawan adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. “Change maker” adalah orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dan berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero. (Tim
90
Pendidikan Karakter 2012, Draft Materi Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa baru 2012)
D. KESIMPULAN Ada hubungan yang sangat erat antara filsafat, etika dan ilmu. Ilmu yang bergerak otonom tidak boleh meninggalkan landasan filosofisnya. Landasan filosofis ini menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat keilmuannya. Ilmu sebabagi bidang yang otonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang dalam filsafat akan memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu, sehingga membawa kemanfaatan bagi manusia. DAFTAR PUSTAKA Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Achmad Charis Zubai, 1987, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta Harun Hadiwijono, 1987, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta Kuhn, Thomas S.,1993, The Structure of Scientific Revolution, terjemahan Tjun Sujarman, Remaja Rosdakarya, Bandung Noor Ms. Bakry, 1997, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberty, Yogyakarta Magnis-Suseno, Franz, Etika Dasar, 1990, Kanisius, Yogyakarta Notonagoro, 1974, Pancsila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran Tujuh, Jakarta _________, 1987, Pancasila Ilmiah Populer, Bina Aksara Jakarta Sony Keraf dan Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius, Yogyakarta Sunoto, 1987, Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekata melalui Metafisika, Logika dan Etika, Hadinata, Yoyakarta T. Jacob, 1993, Manusia Ilmu dan Teknologi, Tiara Wacana Yogyakarta The Liang Gie, 1999, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, 1997, Filsafat Ilmu, Intan Pariwara,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar